Misi
Memperjuangkan terwujudnya klas buruh migran Indonesia yang mandiri, kritis, dan sejahtera berdasarkan nilai-nilai kerakyatan (People Power).
Memperjuangkan terwujudnya klas buruh migran Indonesia yang mandiri, kritis, dan sejahtera berdasarkan nilai-nilai kerakyatan (People Power).
Latar Belakang dan Sejarah SBMI
Migrasi paksa yang terjadi pada Buruh Migran Indonesia secara terang benderang jelas merupakan tindakan pragmatis rezim komprador atas nama pembangunan. Industrialisasi dan revolusi hijau merupakan dua proyek besar kapitalis yang mendorong terjadinya kesenjangan ekonomi dan ketidakmerataan pendapatan antara kelas buruh dan pemilik modal. Pedesaan menjadi area kronis yang harus menanggung beban dan dampak terburuk dari proyek besar eksploitasi sumber daya alam Indonesia. Rencana pembangunan industrialisasi nasional yang rapuh justru merampas lahan-lahan pertanian produktif, sementara revolusi hijau meminggirkan para petani menjadi buruh tani dan akhirnya menjadi buruh migran yang dipaksa bekerja di luar negeri tanpa perlindungan sejati dari negara. Perusahaan-perusahaan multi nasional yang merupakan pemilik modal memonopoli sistem perdagangan dan mengkondisikan Indonesia sebagai pasar yang sanagt rakus atas monopoli produk perdagangan global. Akibatnya terjadi penggusuran paksa, perampasan tanah dan kekerasan terhadap rakyat di pedesaan. Penyempitan lahan kerja dan penghilangan subsidi pertanian merupakan kebijakan kapitalis untuk menghancurkan industri agraria Indonesia dan menjadi pengimpor terbesar hasil-hasil produk negara-negara kaya di dunia. Semakin menurunya jumlah peluang kerja yang bisa dibuat oleh rezim komprador SBY Budiono sejalan dengan langkanya peluang kerja dan rendahnya tingkat upah riil mendorong terjadinya arus migrasi paksa pekerja Indonesia ke luar negeri.
Pada saat ini diperkirakan jumlah buruh migran Indonesia (BMI) di luar negeri sedikitnya sudah mencapai angka lebih dari 9 juta orang. Selain bekerja di sektor domestik sebagai pekerja rumah tangga (PRT) juga cukup besar bekerja di sektor perkebunan, konstruksi, manufaktur, kesehatan dan pelaut. Semuanya dalam kategori buruh rendahan (operator).
Berdasar basis sosialnya, sebagian besar BMI berasal dari pedesaan dengan tingkat pendidikan dan pengetahuan yang rendah atas hak-haknya sebagai buruh. Kondisi ini terus semakin menjauhkan buruh Indonesia dari akses atas haknya sebagai pekerja dan warga negara dan memperbesar kerentanan buruh terus tertindas dan dieksploitasi. Buruh Migran Indonesia (BMI) terus mengalami diskriminasi seperti jaman kolonialis dimanapun tempatnya bekerja. Di dalam negeri Buruh hanya dipandang sebagai komoditi dan warga negara kelas budak. BMI mendapatkan perlakuan yang diskriminatif mulai dari saat perekrutan, di penampungan, pemberangkatan mapun saat kepulangan. Bandara dan semua pelabuhan merupakan wujud nyata dari bentuk diskriminasi terhadap BMI dan anggota keluarganya yang mendiskreditkan buruh migran dengan warga negara lainnya.
Jelas Undang-undang yang hanya berorientasi pada penempatan menjadi cara rakus rezim SBY Budiono yang menjadi pemicu maraknya permasalahan yang menimpa BMI. Begitupun hingga saat ini tidak ada data resmi dari rezim pemerintah di negeri ini mengenai jumlah rakyatnya yang dikirim bekerja di luar negeri, tidak ada data resmi jumlah buruh migran yang menjadi korban PHK sepihak, tidak dibayar upahnya, bahkan ditraffiking, diseludupkan, mendapat ancaman hukuman mati, luka, cacat bahkan tewas saat bekerja, mendapat kekerasan fisik dan psikis, diperkosa hilang kontak puluhan tahun dan yang paling tragis diperbudak selama bekerja diluar negeri.
Serikat Buruh Migran Indonesia (SBMI) adalah antitesis dari kondisi buruk Indonesia yang terus menjadi sasaran eksploitasi sistem kapitalistik dunia. Sebagaimana watak gerakan buruh maka kaum migran yang merupakan buruh haruslah membangun organisasi massanya. SBMI yang dirintis sejak tahun 2000 kemudisan membentuk FOBMI (Federasi Organisasi Buruh Migran Indonesia) yang didirikan pada tanggal 25 Februari 2003. Dan selanjutnya sebagai refleksi atas gerakan perlawanan kelas semakin memperjelas diri sebagai organisasi massa, pada Kongres II FOBMI tanggal 29 Juni 2005 organisasi ini merubah namanya menjadi Serikat Buruh Migran Indonesia (SBMI).
Catatan Perjalanan SBMI
1. Awalnya meluaskan jaringan anggota SBMI di basis dengan membentuk organisasi-organisasi komunitas buruh migran diberbagai wilayah di Indonesia.
2. Selain membangun pos-pos pengaduan, SBMI juga menjalani taktik aksinya lewat pemantauan kasus di kantong-kantong basis buruh migran, wilayah transit dan negara-negara tujuan penempatan Buruh Migran Indonesia.
3. Bekerja sama dengan banyak pihak terutama organisasi berbasis massa menyelenggarakan pendidikan tentang organisasi berbasis hak buruh migran dan anggota keluarganya.
4. Terus melakukan tekanan lewat aksi-aksi ekstra parlementer ke pemerintah dan legislatif untuk mendesak penolakan terhadap UU No. 39/2004 tentang PPTKILN, desakan ratifikasi konvensi ILO No. 189 tentang Kerja Layak PRT, perda dan perdes serta mendesak dimasukkannya mekanisme penyelesaian perselisihan hubungan kerja buruh migran lewat pengadilan perburuhan serta mendesak adanya agreement/perjanjian antara Indonesia dengan negara-negara tujuan bekerja, juga lewat hearing, rountable discussion, Rapat Dengar Pendapat Umum, lobying, dan informal meeting.
5. Bersama dengan banyak pihak terutama serikat buruh dan organisasi massa rakyat lainnya menangani musibah-musibah massal yang dialami buruh migran seperti bencana alam, pendeportasian massal karena tidak berdokumen atau dampak perang.
6. Bersama dengan banyak pihak pernah mengajukan gugatan Citizen Law Zuit terhadap Negara atas kegagalannya melindungi warganya pada Kasus Tragedi Nunukan. Gugatan diterima pada putusan sela majelis hakim PN Jakpus pada bulan Mei 2003 dan dimenangkan oleh majelis hakim pada tanggal 8 Desember 2003.
7. Menjalankan berbagai aksi kampanye massif berkaitan dengan anti perdagangan manusia (traficking) dan penyeludupan manusia pada tahun 2003.
8. Pernah mencoba melakukan aksi kampanye berbasis radio komunitas untuk penyebaran informasi masalah dan hak-hak buruh migran di daerah-daerah basis.
9. Melakukan pendidikan dan pelatihan di basis SBMI lewat Pendidikan Kepemimpinan dan Training Advokasi kasus dan kebijakan.
10. Melakukan pemantauan dan menangani korban deportasi bersama jaringan dalam berbagai Koalisi dan front hingga sekarang.
11. Menyediakan shelter bagi buruh migran dan keluarganya yang lagi mengahadapi masalah hubungan kerja juga karena dideportasi maupun korban kekerasan dan menangani kasusnya hingga tuntas.
12. Pernah memproduksi berbagai media kampanye yang dilakukan bersama pihak lain yang konsern dan peduli pada isu buruh migran.
13. Melakukan penguatan terhadap korban pelanggaran HAM.
14. Melakukan kampanye tentang perlindungan buruh migran baik di dalam maupun luar negeri.
15. Membangun jaringan yang kuat lintas serikat buruh baik di dalam maupun di luar negeri.
16. Mengikuti pertemuan-pertemenuan regional dan international tentang perburuhan.
17. Bekerjasama dengan banyak organisasi internasional untuk penguatan kapasitas pimpinan organisasi basis SBMI.